Monday, August 17, 2009

EGOIS VS SELFISH

Tetangga saudara saya pusing jika mengendus bau asap mobil diesel. Dan memang tidak sedikit orang-orang di sekitar kita yang memiliki permasalahan demikian. Sementara mobil tersebut satu-satunya yang saudara saya miliki. Yang jadi masalah adalah sang tetangga mengendaki mobil itu dienyahkan dari rumah saudara saya entah dijual atau dengan cara lain. Tentu saja tidak semudah membalik telapak tangan, sehingga untuk sementara solusi yang dilakukan oleh saudara saya, sebagai ujud empatinya, berupaya untuk tidak berlama-lama menghidupkan mobil tersebut di lingkungan komplek itu dengan cara begitu menstarter langsung dibawa keluar sampai jarak tertentu agar bau asap tak lagi terendus. Dan sudah barang tentu hal itu merupakan perlakuan tidak ramah terhadap kesehatan mobil. Begitu pun ketika pulang, harus segera mematikan mesin sehingga menuntut kemahiran memarkir. Sejauh ini saudara saya merasa okey-okey saja.
Namun sebagai manusia lumrah yang memiliki perasaan sebagaimana orang-orang pada umumnya. Ternyata sang tetangga itu tergolong orang nylekete alias suka cari enaknya sendiri. Ketika ada area kosong karena si empunya tinggal dirantau orang diklaim untuk dimanfaatkan sendiri dengan berbagai alasan sehingga jika ada orang lain ikut mengambil manfaat properti mubadzir sementara itu tetangga saya merasa rugi sekali pun secara de facto tidak kehilangan apa-apa. Dibutuhkan keahlian tersendiri memberi kepahaman akan kesadaran sosial kepada orang seperti itu. Dan tidak sedikit lho warga masyarakat yang memiliki sifat-sifat seperti itu.
Pucuk dicinta ulam tiba. Saudara saya merasa terbantu mengatasi perilaku tetangganya itu. Bantuan tersebut bermula ketika Allah swt menetapkan musibah gempa tektonik bagi warga Yogyakarta selatan di mana komplek perumahan saudara saya tak luput dari musibah tersebut. Beberapa bangunan tingkat dan rumah berpondasi gaya lama mengalami kerusakan bervariasi mulai dari retak-retak hingga roboh. Atas simpati pemerintah bantuan perbaikan pun mengalir. Survey pun dimulai, kerusakan digolongkan menjadi tiga: berat, sedang, dan ringan; dengan besare dana bantuan perbaikan masing-masing berturut-turut Rp 15 juta, Rp 4 Juta, dan Rp 1 juta.
Pak RT yang nota bene mantan pejabat pemerintah itu memberi laporan tidak sesuai dengan kenyataan menurut persepsi umum. Ia, Pak RT, menaksir dan melaporkan kerusakan rumahnya sendiri dalam kategori kerusakan sedang meskipun relatif tidak ada kerusakan, sedangkan rumah saudara saya dan tetangganya yang kebetulan berlantai tiga, yang sudah barang tentu parah meskipun secara fisik tidak roboh, di taksir dan dilaporkan ringan.
"Ya ampun," gerutu tetangga saudara saya, "lha wong berbuat jujur saja agar tetangganya mendapat ganti wajar kok merasa rugi lho. Dasar senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang. Berkata jujur saja masih belum tergolong biasa, bukannya menolong malah mencelakakan orang yang tidak lain tetangganya sendiri. Memangnya rugi apa ia berkata apa adanya. Berbuat baik tanpa biaya saja susah, boro-boro ...!" tak habis habisnya ia mengomel sembari mengarahkan pandangannya ke saudara saya minta dukungan.
Perasaan saudara saya tidak menentu. Geli, senang, dan bingung sekaligus berkecamuk dalam dadanya. Bagaimana tidak senang, lha wong orang yang selama ini memiliki perangai yang sulit dan repot menghadapinya, kini merasakan sendiri bagaimana orang lain memperlakukan dirinya sebagaimana ia memperlakukan saudara saya. Ternyata waktu dan keadaanlah (tentu saja atas ijin Allah) yang memberi pelajaran tetangga saudara saya itu.
Tapi apa lacur. Ternyata watak orang-orang demikian memang tidak mudah diperbaiki (kecuali Allah sendiri yang berkehendak). Ketika pembantu rumah tangga saudara saya mencuci pakaian dan airnya meluber kepekarangan kosong itu, saqng tetangga unik tadi menghampiri dan mengingatkannya agar air cuciannya tidak maruk pekarangan, sementara pada waktu yang sama pembantunya sendiri foya-foya mencuci di pekarangan tersebut. Cape dech!

No comments:

Post a Comment